Kenapa Masih Banyak Orang, Khususnya Masyarakat Indonesia, yang Percaya Hoax?

Indonesia saat ini sedang mengalami berbagai tantangan. Mulai dari lonjakan kasus Covid-19, kurangnya fasilitas kesehatan untuk menampung pasien, hingga banyaknya informasi bohong yang beredar tentang pandemi yang membuat masyarakat tidak menjalankan protokol kesehatan. Sebenarnya, tantangan-tantangan tersebut berhubungan satu dengan yang lainnya. Orang-orang menerima informasi bohong atau hoax yang dibacanya di internet melalui sosmed yang mengatakan, misalnya bahwa virus Covid-19 tidak semenyeramkan dan semematikan yang diberitakan. Setelah membaca hoax tersebut, mereka keluar rumah tanpa ada keperluan yang mendesak dan berkumpul bersama orang lain tanpa mematuhi protokol kesehatan. Akibatnya, mereka terpapar virus Covid-19 dan dinyatakan positif. Orang yang melakukan hal di atas tidak hanya satu atau dua orang, tetapi banyak di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, fasilitas kesehatan seperti rumah sakit kewalahan untuk menampung orang-orang yang positif Covid-19. Itu hanya salah satu contoh hoax. Kenyataannya banyak jenis hoax yang beredar di masyarakat saat ini. Namun, fokus kali ini adalah mengapa masih banyak orang yang percaya hoax? Padahal kemajuan teknologi sudah bisa membuat kita mencari informasi sendiri.
Ternyata ada berbagai alasan untuk menjelaskan pertanyaan itu. Namun, sebelumnya kita harus melihat dulu bagaimana cara hoax bekerja agar mengetahui apakah kita sudah menjadi korban hoax atau tidak. Menurut Anita Wahid, Presidum Masyarakat Anti Fitnah Indonesia, hoax memang dirancang dan didesain untuk menargetkan sisi emosi kita. Biasanya ada dua emosi yang timbul saat membaca hoax. Pertama, ada emosi yang menimbulkan rasa kekhawatiran karena merasa ada ancaman yang akan menggangu keselamatan dirinya dan orang lain. Kedua, emosi yang berhubungan dengan identitas diri kita. Saat identitas diri seseorang diserang, tanpa pikir panjang orang tersebut akan tersinggung dan muncul amarah dan kebencian. Ketika emosi itu sudah muncul maka orangnya akan mudah untuk disetir untuk melakukan hal-hal yang diinginkan pembuat hoax. Hoax bisa tercipta karena adanya target atau sasaran hoax dan orang yang diberikan hoax, itu kita, masyarakat.
Walaupun sudah mengetahui cara kerja hoax, tidak sedikit orang yang masih percaya hoax. Mengapa demikian? Pertama, orang-orang lebih memercayai informasi yang sesuai dengan opini atau pendapatnya dan sikapnya terhadap suatu hal. Dalam sisi psikologis, akan ada rasa positif yang timbul dalam diri seseorang jika opini atau pendapatnya mendapat dukungan atau sejenisnya. Mereka akan merasa bahwa yang berpendapat demikian tidak hanya dirinya seorang, tetapi ada yang punya pendapat yang sama dengan dirinya di luar sana. Saya mengambil contoh kasus yang baru-baru ini terjadi. Ada seorang anak yang kehilangan ayahnya karena percaya hoax yang beredar. Ayahnya tidak mau divaksinasi karena percaya bawa vaksin Covid-19 itu haram. Anaknya sudah berusaha membujuk dan memberikan berita bahwa vaksin halal yang dinyatakan oleh MUI. MUI sebagai salah satu lembaga besar agama di Indonesia tidak sembarangan untuk menghalalkan sesuatu. Mereka pasti telah mempertimbangkan baik-baik sebelum menfatwakan vaksin. Meskipun begitu, sang ayah masih percaya hoax. Ini membuktikan bahwa orang akan memercayai apa yang mau mereka percayai walaupun sudah diberikan argumen dan fakta yang mendukung.
Kedua, banyak orang yang malas mengecek kembali informasi yang mereka baca. Mereka langsung menelan mentah-mentah apa yang mereka lihat di sosial media. Ada beberapa sebab orang malas mengecek kembali, tetapi utamanya ada dua. Satu, tidak mengetahui caranya dan kedua, langsung percaya informasi yang viral dan sering beredar adalah informasi yang benar. Ditambah lagi, orang yang hanya membaca judul saja. Ini sebenarnya tidak salah 100 persen pada masyarakat karena media-media sekarang sering membuat judul artikel atau berita yang tidak sesuai dengan isinya. Istilah ini biasanya disebut clickbait. Orang yang hanya membaca judulnya saja bisa tersulut emosinya lalu membuat opini yang melenceng. Oleh karena itu, tingkat literasi harus terus ditingkatkan dan juga biasakan untuk membaca isi berita dengan teliti dan seksama.
Ketiga, kemunculan informasi yang berulang. Poin ini berhubungan dengan poin sebelumnya. Jika seseorang melihat suatu informasi secara terus menerus dan orang tersebut tidak mengecek kembali, seiringnya waktu orang tersebut bisa percaya informasinya. Kemajuan teknologi saat ini memudahkan orang untuk menyebarkan tentang suatu berita dengan mudah. Hal ini menjadi pedang bermata dua karena bisa memberikan dampak positif dan dampak negatif sekaligus. Sisi baiknya orang-orang dapat mengakses informasi apapun hanya dengan waktu beberapa detik. Sisi negatifnya informasi yang beredar menjadi tidak dapat tersaring. Hoax dan fakta menjadi tercampur dan menjadikan hal sebenarnya tertutupi. Misal fitur retweet di aplikasi twitter. Fitur ini bisa menyebarkan informasi secara eksponensial karena jika di-retweet seseorang makan tweet tersebut akan bisa dibaca oleh pengikutnya dan begitu seterusnya. Tidak jarang yang paling sering di-retweet adalah berita yang bohong atau tidak benar dengan kata lain hoax. Alhasil, makin beredar makin banyak orang yang membaca dan memercayainya.
Selain twitter, platform yang saya biasa lihat untuk menyebarkan informasi adalah whatsapp. Pada whatsapp terdapat fitur forward yang bisa menyebarkan informasi antar grup maupun antar individu. Dalam lingkungan saya, penyebaran informasi pada whatsapp tidak jarang terdapat hoax di dalamnya. Biasanya ini terjadi di grup whatsapp yang berisi anggota keluarga. Informasi yang disebarkan juga terkadang hal yang sama jadi dalam satu hari banyak sekali informasi yang didapat. Untungnya, orang tua saya tidak mudah percaya dan selalu mengecek kembali informasi-informasi tersebut jadi tahu mana yang fakta dan mana yang hoax. Tetapi bagaimana dengan anggota keluarga yang lain? Tidak sedikit yang langsung percaya informasi yang beredar.
Dari berbagai alasan yang telah dijabarkan, dapat diketahui bahwa akar masalah hoax cukup sulit untuk dihilangkan. Informasi tentang apapun pasti ada individu yang percaya di luar sana. Namun, informasi yang berbahaya adalah informasi yang bohong atau tidak benar. Di masa pandemi ini, hoax bisa menyebabkan kekacauan di kalangan masyarakat ditambah lagi tindakan pemerintah yang setengah-setengah dan tidak tegas membuat masyarakat makin percaya hoax. Ada seseorang yang tidak ingin dibawa ke rumah sakit padahal sudah memiliki gejala virus Covid-19 karena percaya bahwa jika dia datang ke rumah sakit maka akan di-covidkan oleh pihak rumah sakit. Alasan orang tersebut tidak ingin ke rumah sakit juga diperkuat oleh adanya berita yang menyatakan bahwa pihak rumah sakit menetapkan seseorang positif Covid-19 walaupun tidak ada gejala sama sekali. Jika sudah terjadi seperti ini, rumah sakit yang bekerja dengan benar dan ingin turut membantu mengatasi pandemi akan sangat sulit untuk mendapat kepercayaan masyarakat.
Hal yang bisa saya lalukan sebagai mahasiswa adalah terus menyebarkan informasi yang benar dan kredibel. Selain itu, membantu meningkatkan kesadaran masyarakat akan hoax serta menjelaskan kenapa suatu informasi itu hoax dengan fakta-fakta yang ada. Dari sisi pemerintah juga harus menegaskan tentang bahaya virus Covid-19 dengan segala variannya dan pentingnya vaksin bagi seluruh masyarakat. Di samping itu, harus ada peraturan dan sanksi bagi yang membuat dan menyebarkan hoax serta meminta mereka untuk berdiskusi dengan orang yang ahli dalam bidangnya dan menjelaskan alasan mengapa mereka beropini seperti itu agar tidak terjadi kesalahpahaman. Tentu saja melawan hoax bukanlah hal yang mudah. Harus ada kerjasama di semua pihak agar tidak ada hoax yang beredar. Mari kita bersama-sama memulainya dengan menyadarkan orang-orang terdekat kita.